Tak Ada Selingkuh dalam Open Relationship
Oleh: Royyan Julian
“Selingkuh itu indah dan Tuhan suka yang indah-indah,” seloroh seorang kawan. Mungkin ia bercanda. Atau tidak. Selingkuh barangkali memang indah. Selama tidak ketahuan, tentu saja. Sebaliknya, kepergok selingkuh bisa membuat sebuah hubungan seperti kapal pecah di tengah gelombang dan angin sakal.
Maka open relationship bisa menjadi alternatif sebuah hubungan. Akan tetapi, tidak semua orang cocok mengamalkan open relationship. Open relationship hanya bisa dijalani mereka yang berjiwa bebas. Open relationship memiliki moralnya sendiri. Orang-orang normatif yang taat pada moral tradisional seperti hukum agama dan tata keluarga patriarki akan menganggap open relationship sebagai hubungan ganjil dan amoral.
Open relationship (relasi terbuka) bisa dimaknai sebagai ikatan inklusif antara dua orang, baik secara emosional maupun seksual, yang memungkinkan pihak lain masuk dalam hubungan itu. Keterlibatan pihak ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya merupakan hasil kesepakatan yang bersangkutan. Open relationship menjadi solusi menarik bagi mereka yang jenuh dengan pola hubungan yang begitu-begitu saja.
Dalam sebuah hubungan, baik perkawinan maupun non-perkawinan, manusia berkomitmen dengan manusia lainnya. Kontrak ikatan itu dijalin seumur hidup atau dalam tempo relatif lama. Singkatnya, ada janji yang membatasi. Persoalannya, tidak ada manusia yang sempurna. Dalam hubungan tersebut, seseorang, mau tidak mau harus bertoleransi dengan kekurangan pasangannya. Jika tidak, yang terjadi yaitu percekcokan, seperti pemutusan hubungan (dalam relasi pacaran) atau pisah ranjang, bahkan perceraian (dalam perkawinan).
Jika sebuah hubungan berjalan dengan pola statis dan monoton, sedangkan relasi tersebut diikat oleh komitmen ketat, yang terjadi adalah rasa bosan. Kepatuhan terhadap kontrak ikatan mengharuskan seseorang menelan rasa jumud itu sepanjang hidupnya jika hubungan monoton tersebut terus bertahan. Orang-orang yang terjebak pada situasi demikian akan menjalani hubungan yang terpaksa hanya karena harus memikul tanggung jawab sebagai pasangan bermoral. Seperti semangkuk bubur dingin, hubungan keduanya hambar.
Lalu di mana kebahagiaan yang dijanjikan sebuah hubungan cinta jika relasi keduanya dipenuhi drama? Bukankah orang punya harapan bahagia jika telah bersatu dengan belahan jiwanya? Atau jangan-jangan ekspektasi manusia terhadap sebuah hubungan memang berlebihan? Sebab kenyataan seringkali meleset dari yang ideal. Hubungan ideal mensyaratkan kedua orang yang menjalaninya adalah pribadi-pribadi ideal. Faktanya, tidak ada individu yang sempurna. Manusia, dengan segala kedaifannya, tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan manusia lainnya.
Oleh karena itulah perkawinan, misalnya, bukan institusi yang dirancang untuk menuntun manusia ke bukit kebahagiaan. Jika perkawinan yang diangankan banyak orang mampu membawa manusia menuju kebahagiaan sejati, kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran, pengkhianatan, dan perceraian tidak mungkin ada. Dalam sejarah perjalanannya, motif perkawinan tidak seperti yang dibayangkan generasi bucin di mana lembaga tersebut cuma dibangun di atas fondasi tunggal: cinta. Dahulu, masyarakat menciptakan institusi perkawinan dengan motif macam-macam: ekonomi, diplomasi politik, mempertahankan ikatan darah, dan sebagainya. Kenyataannya, perkawinan saat ini—yang diimajikan sebagai lembaga yang dibangun karena cinta—juga masih menyisipkan motif nonsentimental seperti perkara keamanan atau stabilitas kedudukan dalam masyarakat. Perkawinan yang semata-mata dilandasi motif asmara hanya eksis di drama Korea.
Open relationship dapat menjadi solusi toxic relationship. Open relationship tidak menyangkal bahwa manusia bisa berwatak poliamori yang bisa memiliki perasaan romantis kepada lebih dari satu orang. Bahkan, open relationship menyokong tabiat natural manusia (terutama laki-laki, sebagaimana kerabat primata lainnya) yang secara biologis ingin memiliki lebih dari satu partner—untuk menebar gen. Terlepas dari masalah moral, open relationship memfasilitasi kecenderungan tersebut secara jujur.
Namun, lebih dari sekadar persoalan cinta, open relationship mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kompleks manusia. Jika tidak puas atas hubungan seksual dengan pasanganmu, kamu bisa mendapatkannya dari orang lain. Jika pasanganmu tidak bisa memberi cukup perhatian karena sibuk, orang lain bisa menyelamatkanmu dari bencana jablai. Jika partnermu tidak mampu memuaskan kebutuhan intelektualmu, barangkali orang lain bisa. Bahkan jika pasangan lawan jenismu tidak bisa menggenapi kebutuhan afektifmu, mungkin hubungan sejenis mampu memberimu kasih sayang. Secara tidak langsung open relationship mengakui dengan terus terang bahwa tidak ada manusia super yang mampu melakukan segala hal, sedangkan di sisi lain, seseorang layak mendapatkan apa yang diinginkannya.
Maka, dalam open relationship, istilah selingkuh menjadi tidak relevan. Selingkuh adalah kosakata yang hanya ada dalam kamus hubungan tertutup di mana kamu hanya milikku dan aku cuma milikmu. Posesi total tersebut menuntut kesetiaan absolut. Sementara itu, hubungan bercabang yang terjalin dalam open relationship disepakati dengan asas keikhlasan dan rasa senang. Tidak ada perselingkuhan. Yang ada yaitu sikap rendah hati dan kesadaran bahwa kamu tidak bisa memenuhi semua kebutuhan pasanganmu.
Bagaimanapun juga, layaknya hubungan konvensional, open relationship bisa jadi tidak berjalan mulus. Hambatannya bisa bermacam-macam. Yang mungkin relatif sulit diatasi yaitu “jebakan cinta sejati”. Jebakan cinta sejati bisa menjerat seseorang pada sikap posesif. Sikap posesif termanifestasikan dalam rasa cemburu. Cemburu barangkali memang sifat alamiah manusia yang sukar dihindari. Namun, ketika sudah menyepakati open relationship, orang-orang yang bermain di dalamnya mesti belajar cara efektif dan efisien mengelola rasa cemburu. Cemburu tidak selalu berdampak negatif, tetapi menanggulangi efek buruk cemburu perlu dilakukan agar akumulasi daya merusak yang ditimbulkannya tidak menjadi petaka. Bukankah open relationship dibangun untuk menghindari drama dan air mata?
Biodata Penulis
Royyan Julian adalah penulis yang tinggal di Pamekasan. Bergiat di Sivitas Kotheka. Buku mutakhirnya berjudul Ludah Nabi di Lidah Syekh Raba (2019).
��
BalasHapus