Judul: Humanitas Madura
Penulis: Muhammad Tauhed Supratman
Penerbit: CV Oase Group
ISBN: 978-602-457-157-3
Tebal: 174 halaman
Edisi: Cetakan ke 1, 2019
Spiritualitas Gaya Berpantun Orang Madura
Oleh: Fahrus Refendi
Berbicara tentang budaya, maka Indonesia lah rajanya. Terbentang dari Sabang sampai Merauke yang penuh dengan keunikan dan kekhasan masing-masing pada setiap daerahnya. terutama tradisi berpantun. Tradisi asli budaya Nusantara. Kebiasaan berpantun orang-orang Indonesia khususnya Madura terdahulu bukan tanpa tujuan, pantun atau bisa disebut dengan puisi lama banyak memberikan pengajaran dalam hidup terutama aspek moralitas dan ritus sosial. Lewat tradisi berpantun rasa humanistik kolektif pada setiap sendi masyarakat akan lebih bermakna.
Tak terkecuali Madura. Secara geografis Madura yang bersinggungan langsung dengan Jawa juga mempunyai tradisi berpantun yang diturunkan secara turun-temurun. Jika di Melayu di sebut dengan ‘Pantun’, di Batak Mandailing disebut dengan ‘Ende-ende’, di Jawa disebut dengan ‘Parikan’ sedangkan penamaan pantun di Madura sendiri disebut dengan ‘Papareghân’. Meski penamaan pada setiap daerah berbeda-beda, aturannya tetap sama yaitu: satu bait terdiri dari empat larik, dua larik sebagai sampiran dan dua larik selanjutnya sebagai isi, dengan pola rima a-b-a-b. Pantun Madura atau disebut dengan papareghân mempunyai sub-sub tema, di mana setiap tema menduduki fungsinya masing-masing, diantaranya sebagai pengukuh lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pengontrol sosial, instrumen pendidikan serta sebagai alat komunikasi
Buku Humanitas Madura setebal 174 halaman ini hadir sebagai khazanah budaya Madura tentang tradisi berpantun yang sudah diambang kepunahan. Gaya hidup berpantun yang sudah banyak ditinggalkan oleh pemuda-pemuda millenial menegaskan bahwasanya buku ini hadir untuk merevitalisasi kembali budaya leluhur yang seyogyanya harus dilestarikan keberadaannya.
Nenek moyang terdahulu sangat akrab sekali dengan budaya berpantun. Pantun dianggap pas untuk meyampaikan gagasan yang ingin diutarakan. Fungsi pantun yang statis menjadikan salah satu dari aliran genre sastra ini disukai. Biasanya, pantun juga banyak dipakai diacara serah terima pernikahan, proses belajar-mengajar antara guru kepada murid sampai pada kaum pemuda yang ingin mengutarakan rasa cintanya pada sang pujaan hatinya. Namun, seiring berjalannya waktu budaya tersebut habis digilas zaman.
Belakangan, pantun yang tergolong pada sastra lisan/foklor dihadapkan pada sesuatu yang paradoksial. Menurut Gazali, tradisi berpantun yang berkembang dari mulut ke mulut dilatarbelakangi karena pada waktu itu masyarakat masih belum mengenal tulisan akhirnya pantun itu berkembang dari mulut ke mulut tanpa tahu siapa pengarangnya/anonim. Bersebrangan sekali dengan pendapatnya Hubb de Jonge, dia berpendapat bahwa masyarakat Madura pada waktu tradisi berpantun berkembang, sebenarnya masyarakat sudah mengenal dunia tulis-menulis, namun sampai sekarang belum ditemukan bukti konkret berupa fakta-fakta perihal hasil karya sastra yang benar-benar tua tersebut. Artinya, jika mengacu pada pernyataan Hubb de Jong ke manakah naskah-naskah bersejarah itu itu pergi?
Pola pantun tidak mengalami perubahan sedikit pun pada susunan maupun aturan-aturannya telah menstimulus saya untuk mengadopsi hipotesis bahwasanya pantun itu bukan hanya sekedar lembaran kosong tanpa ada muatan positif di dalamnya. Ternyata hipotesis saya keliru. Pada buku Humanitas Madura ini banyak dipenuhi dengan intrik laku sikap hidup orang Madura yang dimanifestasikan dalam bentuk pantun. Manusia Madura yang terkenal akan budaya yang sangat menjunjung tinggi harga diri, dan pada dasarnya hal itu merupakan rujukan yang sesungguhnya atas kemuliaan karakter manusia meliputi: keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, serta kelembutan.
Ungkapan di atas dapat diwujudkan melalui pembelajaran setiap hari. Hari-hari yang dijalani, seharusnya dapat dijadikan kesempatan untuk mengikis karakter buruk dalam diri manusia generasi Z dan generasi alpha untuk terus mengembangkan kebiasaan baik untuk mewujudkan harga diri yang adiluhung. Dengan hal itu, kita menjadi orang yang benar-benar berharga seperti yang terekam dalam pantun di bawah ini:
Oreng males tadha’ lakona
Lakona ngokor dhalika
Palerres tengka lakona
Ma’ kantos kacale dhika
Terjemahannya:
Orang malas tak tak mau bekerja
Kerjanya mengukur tempat tidur
Yang baik dalam bekerja
Agar engkau tidak ditegur
Sementara selaku etnis yang mengedepankan harga diri, manusia Madura mempunyai nilai-nilai yang sangat melekat sekali pada budaya Madura itu sendiri, hal-hal tersebut meliputi: nilai religius, nilai moral, nilai estetika serta nilai kebenaran. Tidak hanya berhenti disitu saja laku/sikap hidup orang Madura juga tercermin dalam sikap hidup terhadap Tuhan, sesama mahluk hidup, serta terhadap diri sendiri.
Sikap hidup serta asumsi nilai yang melekat pada manusia Madura dikomparasikan oleh Tauhed Supratman ke dalam pantun Madura yang meliputi empat teritori: yang pertama pantun se-kasean (pantun cinta), yang kedua pantun bhabhurughan (pantun nasehat), yang ketiga pantun nasehat, keempat pantun agama, yang kelima pantun loco (pantun lelucon). Tentunya, dalam setiap pantun yang disampaikan tidak akan pernah luput dari pesan yang berupa moralitas tak jarang juga dibumbumi dengan humor-satire. Akhirnya dari pantun yang berkembang kita bisa menelisik esensi sifat sastra itu kembali seperti apa yang sudah dikemukakan oleh Heratius: dulce dan utile (menyenangkan dan mendidik).
Biodata Penulis
Fahrus Refendi merupakan mahasiswa Universitas Madura prodi Bahasa & Sastra Indonesia.
0 komentar: