Ragu
Oleh: Akbar Mashuri
"Berjalan seperti biasa, itu saja.”
Seperti biasa di rumah sederhana ini adalah tempatku
mengeluh. Apa pun akan aku keluarkan agar diriku tenang, itu saja. Selebihnya
mengumpat atas dasar tidak enak dalam pandanganku. Itu sudah menjadi
rutinitasku sebelum berangkat kerja membuka warung.
“Huh, semua yang kulakukan kok ya gak ada hasilnya,”
keluhku di depan teras sembari menyiram tanaman.
“Ada apa sih? lesu sekali,” sahut tanaman cabai.
“Pagi-pagi sudah ikut campur. Sudahlah, diem aja lebih
bagus,” aku terus menyirami tanaman lainnya.
“Tidak bisa, wong aku di sini capek dengerin
ocehanmu tiap pagi. Mendingan selawatan atau ngaji, kan lebih hangat di
telinga,”
“Hohoho, memangnya punya telinga? Sok sokan ngomong hangat
di telinga. Yang ada cuman daun,” aku sudah mulai kesal, “Sekali lagi bicara, gak
aku sirami, baru tau rasa!” Lanjutku.
“Santai dulu, Sob. Kamu nanti dosa kalau gak nyirami aku,
sudah nanam tapi gak merawat. Dasar Sontoloyo!” Giliran tanaman cabai mengoceh.
Semakin banyak orang berlalu lalang, tukang bakso menyapa,
tukang sayur menyapa, langganan cilok manyapa, dan tidak luput juga Pak Kades
menyapa dengan senyum lebar. Aku hanya menganggukkan kepala membalas sapaan
semuanya.
“Kalau membalas sapaan orang itu yang ikhlas, muka ditekuk
kayak lipetan perut,” lagi-lagi omongan cabai membuatku benar benar marah, “sini-sini
cerita sama aku, ada masalah apa sih? Kok setiap pagi aku lihat sambat
melulu.”
“Kalau aku cerita, kamu diem. Dengerin baik-baik. Awas
kalau menyela omonganku.”
“Tenang, gak aku ganggu. Cepet cerita, lama-lama keburu
basi, kalau sudah basi tidak ada yang mau makan.”
“Sialan! Jadi gini, aku sudah dari siang bekerja sampe
malem. Tetep aja gak ada kemajuan sama sekali, ditambah lagi ada beberapa teman
yang pinjem uang belum dikembalikan sampai sekarang. Gak tau apa aku juga butuh
uang. Aku tidak enak aja menagih hutang, hanya karena mereka teman sendiri.
Dikiranya aku gak ikhlas membantu. Belum lagi bulan ini harus bayar cicilan motor.
Kurang ajar!”
“Ngomong kurang ajarnya jangan ke sini. Pertama, kamu sudah
ragu atas kuasa Tuhan.”
“Yang bener aja,
bagian mana aku ragu perkara Tuhan?”
“Belum selesai ngomong sudah dipotong, dengerin dulu
makanya!” Ucapannya semakin ngegas, “ragu soal rezeki yang diberikan
Tuhan kepadamu. Jika kamu berusaha dengan maksimal, nantinya akan membuahkan
hasil. Perkara selanjutnya, uang yang kamu pinjamkan kepada temanmu, mendingan
ikhlaskan...”
“Woy tidak bisa begitu! Aku butuh uang juga,” sergahku.
“Motong lagi. Ibarat aku yang buang air besar, kamu yang
motong.”
“Dasar sialan! Bicara kok ya sama cabai, omongannya pedes.”
“Mau aku lanjutkan apa gak?”
“Haduh, tanaman kok ya bisa ngambek juga. Ngamcem pula.” Aku
mengambil kursi kecil untuk mendengarkan lebih lama, “ ini sudah diem,
lanjutkan.”
“Oke, lanjut. Akad awal kamu sudah berpikir bahwa uangmu
akan kembali. Seharusnya kamu berpikir untuk membantu temanmu dan tidak
mengharapkan kembali. Jadinya kamu tidak perlu repot-repot mengeluh tiap pagi.
Tuhan akan selalu mengerti bagaimana kondisi hamba-Nya, tanpa kamu minta sudah
dikasih. Sekali-kali bersyukur! Gak bersyukur aja masih diberi rezeki, apalagi
kalo bersyukur. Ingat! Orang yang bersyukur itu akan menambahkan rezeki.
Makanya belajar, Tong.”
“Walah, walah. Tanaman sudah kayak Pak Ustaz, Jingan!”
“Hoy! Bersyukur dulu, bukan malah ngomongin tanaman.”
“Maaf, maaf. Terbawa suasana.”
“Sudah, sekarang mau ikhlaskan uangnya?”
“Tidak semudah itu, Cabai.” aku masih tidak terima saran
yang membuatku rugi.
“Terus apa lagi?”
“Cicilan motorku siapa yang bayar?” Tanyaku lagi.
“Makanya, tidak sanggup beli aja sudah sok beli motor.”
“Hais! Kurang ajar! Pedes omonganmu. Besok lagi aku potong
baru tau rasa!”
“Eits! Dosa, alarm berbunyi. Terakhir, motormu serahkan
saja pada Tuhan, tugasmu banyak bersyukur dan bekerja. Masalah uangmu, tidak
perlu dipikirkan. Anggap saja kamu sedekah, tidak bakalan kamu carikan.”
“Terima kasih Tuhan, telah memberikan rezeki selama ini.
Maafkan hambamu yang telah ragu atas Karunia-Mu.”
“Ya jangan sekali ini doang, besok lagi. Bukan setiap pagi isinya mengelu dan tetangga
digosipin. Dasar ...”
“Dasar apa?”
“Tidak-tidak, sudah selesai.”
“Walah, nasib-nasib. Punya tanaman kok omongannya pedes,
suka ceramah lagi,” aku beranjak meninggalkan tanaman. Semua berjalan biasa,
aku tetap menggerutu dalam hati.
“Satu lagi, Masakanmu gosong di belakang!”
“Oh ya, tadi aku masak. Gara-gara tanaman jadi gini, Jingan!”
Biografi Penulis
Akbar Mashuri, lahir di sidoarjo. Penikmat
sastra dan menjelma sebagai manusia biasa. Lebih lanjut bisa email
akbartrio28@gmail.com
0 komentar: