Sebelum Ramadhan Berakhir Oleh: Fahrul Rozi     Dari jemarinya yang putih dengan urat kecil menyembul, terlahir masakan yang membuat b...

Sebelum Ramadhan Berakhir

Sebelum Ramadhan Berakhir

Oleh: Fahrul Rozi

  

Dari jemarinya yang putih dengan urat kecil menyembul, terlahir masakan yang membuat banyak orang ingin memakannya. Begitu pun dengan Farid, anak tunggal yang dibanggakan Ibunya.

Tangan Ibunya tidak berhenti dari mengiris bawang saja, ia memotong kacang panjang, tomat, dan menguleknya, serta banyak lagi—yang sebenarnya Farid bisa. Tapi ketika Farid ingin membantu, Ibunya akan marah dan akan berhenti memasak. Farid bingung, ia ingin sekali membantu namun Ibunya… Farid berlalu dan masuk kamar. Ia meraih Al-Quran dan mulai mengaji.

 Farid baru saja libur pondok setelah satu tahun menghafal Al-Quran. Liburan yang begitu sunyi tanpa kehadiran seorang Ayah. Tidak ada lagi tadarus Al-Quran setelah tarawih di Musala. Mereka yang biasa tadarus adalah tetangga dan teman-teman Ayahnya. Farid tak berani apalagi ia sangat pemalu.

Ayahnya sosok yang dihormati oleh warga. Mereka selalu mendengar apa yang dikatakannya, bahkan ketika ada maling dan ternyata pelakunya keluarga korban sendiri, Ayah Farid malah meminta mereka saling memaafkan dan menganggap perkara itu selesai. Ayah Farid tidak pernah alpa mengajak warga dan temannya tadarus selepas salat tarawih. Ia akan memulai dan melantunkan ayat suci begitu merdu dan memikat telinga banyak orang.

Tapi Bulan Ramadhan ini, apa yang bisa dilakukan Farid selain menghafal ayat-ayat suci di dalam kamar.

Suatu pagi ketika Ibunya sedang pergi membeli sayur ke pasar. Farid keluar kamar dan mengupas kulit bawang di dapur. Ia lakukan apa yang dilakukan Ibunya, termasuk menggoreng tempe dan menanak nasi. Semua dilakukan Farid begitu cepat. Tapi ketika Ibunya datang, ia mengomeli Farid dan menyuruh segera menyingkir dari depan kompor. Farid mengkal, tempe yang ia goreng tersisa tiga dan ia ingin menuntaskan pekerjaannya. Namun, Ibunya merebut sutil dari tangannya—lalu tidak tahu kenapa, sutil itu tiba-tiba terlepas dari tangan Farid. Jemari Ibunya tak berhasil menangkap. Minyak panas tumpah ke tangannya. Memerah mendidih. Sontak Ibunya menjerit, menangis ke beranda. Farid yang dilanda kebingungan tidak tahu harus berbuat apa. Ia tercenung melihat Ibunya menangis sambil melumurkan salep. Lalu ia berteriak, “Cepat matikan kompor!”

Semenjak kejadian itu, Farid tidak lagi membantunya atau pergi ke dapur untuk melihat Ibunya memasak, seperti yang ia lakukan setelah mengaji. Farid bahkan tidak lagi menghafal Al-quran seperti biasanya dan tidak salat tarawih. Ia selalu berdiam diri di kamar, merenung dan kadang kedua bibirnya bergetar seperti ada kata yang ingin keluar.

Farid hanya keluar ketika Ibunya mengajak berbuka puasa. Di atas meja makan itu, Ibunya bercerita tentang Ayahnya di masa muda. Sosok lelaki yang berambut cepak, tubuh jangkung, dengan peci hitam melekat di kepalanya. Lelaki yang selalu senyum ketika bertemu orang, bahkan orang yang tidak ia kenal. Setelah buka puasa, rumah tampak dingin dan tak ada lagi pembicaraan di atas meja. Saat itulah Farid akan kembali ke kamarnya; menyendiri.

Sikap Ibunya makin hari makin dingin. Ia tidak menemukan sosok Ibunya yang dulu ceria ketika menyambut Farid pulang sekolah. Apakah karena Farid telah membantunya memasak, dan tanpa sengaja minyak panas itu jatuh ke tangannya? Entah.

***

Bulan bersujud ketika kotek ayam menggelegar, dan bunyi azan mengaung di ujung corong Masjid dan Musala. Farid tidak sahur. Ia keluar dan berjalan ke dapur kemudian masuk ke kamar Ibunya. Tetapi di depan pintu Farid berhenti. Ibunya tidak ada di kamar. Farid berlalu dan mencarinya di belakang. Tapi Farid tetap tidak menemukannya. Ia masuk ke kamarnya lagi dan beranggapan bahwa Ibunya sedang belanja di pasar. Farid terjaga sepanjang menunggu Ibunya datang. Kemudian ia tertidur juga.

Farid terbangun ketika bau masakan Ibunya mengusik penciumannya. Farid terbangun dengan punggung basah oleh peluh. Dilihatnya dari balik jendela kamar, matahari akan jatuh dan sinarnya tersisa di langit. Farid bangkit, memutar gagang pintu dan menemukan Ratni, tetangga sebelah yang duduk di beranda rumah dengan bungkus plastik hitam di sampingnya. Sedang Ibunya masih berada di dapur menyiapkan buka puasa. Farid segera masuk kamar dan menutupnya rapat.

Ia mendengar percakapan Ratni dengan Ibunya.

“Kenapa tanganmu memerah begitu, Mbak?”

“Biasa, kena minyak goreng,”

“Kok bisa sebesar itu?” tanya Ratni. Ibu Farid hanya tersenyum.

“Direcokin kucing, jadinya seperti ini,” kata Ibu Farid sambil memajukan tangannya ke depan wajah Ratni.

“Untung ada salep. Jadi luka ini tidak begitu perih setelah dioles. Malah terasa dingin,” Ibu Farid menarik tangannya kembali dan mendekatkan pada wajahnya. Membauinya. Lantas melanjut, “Tanganku seperti bau ayam goreng saja,” Ibu Farid tertawa sedangkan Ratni mempunyai sekeranjang pertanyaan untuk diajukan.

“Tapi itu masih merah. Sebaiknya pergi ke dokter sebelum tambah parah,” tambah Ratni mengusulkan.

“Tidak perlu. Paling dua hari lagi akan sembuh,”

Farid tercenung mendengar penjelasan Ibunya pada Ratni. Kalimatnya begitu halus dan lembut menyampaikan kejadian. Benarkah perempuan itu Ibu Farid. Mengapa Ibunya harus berbohong. Tapi setelah mendengar penjelasan Ibunya pada Ratni, hal itu membuat kepala Farid pelan-pelan menunduk, lalu jatuh. Farid menangis, tapi tidak ada butiran kecil di matanya yang jatuh. Selimut ia tarik sampai menutupi semua tubuhnya, dan sekali lagi Farid menangis, tapi tidak keluar air mata. 

Bunyi derit pintu terdengar dan disusul suara Ratni yang samar berpamit pada Ibu Farid. Farid menenggelamkan kepalanya ke bantal agar suara di luar tidak lagi terjangkau telinganya. Namun Farid masih mendengar Ibunya bergumam.

“Dasar Ratni. Ibu muda itu baik sekali membawakan roti untuk keluargaku,”

Tidak lama Ibunya memanggil Farid keluar. Di atas meja sudah tersedia beberapa masakan dan satu bungkus roti, pemberian Ratni. Farid keluar dengan kepala menunduk. Ibunya tidak di meja. Ia di dapur entah berbuat apa. Tidak jauh, azan melengking bercampur dengan tabuh beduk. Ibunya dan Farid berbuka dengan nikmat tanpa ada pembicaraan atau obrolan sampai mereka selesai.

Setelah berbuka, Farid tidak pergi ke Musala. Ia masuk kamar dan membaringkan tubuh. Ia teringat penjelasan Ibunya pada Ratni dan itu membuatnya selalu berpikir keras dan menerka jawaban yang tepat atas pertanyaannya sendiri.

Hampir semalaman Farid memikirkan itu dan tidak tidur sampai subuh. Mengapa Ibunya tidak mengatakan yang sebenarnya? Dan mengapa harus kucing menjadi korban? Apakah Ibunya takut memberi tahu yang sebenarnya pada Ratni, bahwa tangan yang terbakar itu ulah Farid, anak laki-lakinya?

***

Akhir-akhir ini Farid sering terlambat sahur dan tubuhnya kurus kering. Berjalan keluar kamar saja ia tertatih-tatih. Ibunya yang baru sadar dengan kondisi Farid segera memeriksa suhu badan Farid. Panas. Tubuhnya sangat panas. Ibunya segera memanggil dokter ke rumahnya. Tak lama Dokter itu sampai di depan rumah dan Ibunya membawanya ke dalam kamar Farid.

“Ia terkena demam. Butuh istirahat yang banyak dan asupan yang seimbang,” kata Dokter setelah melepas stetoskop dari dada Farid. “Kurasa besok ia tidak perlu puasa. Ini untuk kesembuhannya…” lanjutnya.

“… dan ini untuk resepnya bisa ditukar ke apotek,” Dokter memasukkan stetoskop ke dalam tas. Ibunya dan Dokter itu bersalaman dan mengantarnya sampai depan pintu.

Ibunya menemani Farid sepanjang hari dan tertidur dengan tangan melipat di atas dipan. Kini Ibunya jarang sekali ke dapur. Farid terus mendapatkan perhatian dan tak jarang Ibunya bercerita, apa saja. Seperti ketika dulu saat Ayahnya masih ada. Ibunya juga sering bercerita tentang nabi-nabi sebelum tidur. Namun kini Ibunya bercerita mendiang suaminya.

Ya, setelah kematian suaminya, Ibunya tidak pernah lelah bercerita tentangnya yang seakan kisah nabi yang dulu ia ceritakan tidak lagi berguna untuk disampaikan pada Farid. Memang benar Farid merindukan Ayahnya. Begitu pula dengan Ibunya. Tapi mengapa kali ini ketika Farid sakit, Ibunya masih menceritakan Ayahnya. Itu membuat Farid rindu dan tak bisa menerima kepergiannya.

            Ibunya duduk di pinggir dipan, mengangkat kepala Farid dan ditaruh ke atas pahanya. Ia mengusap-usap kepala Farid. Kemudian bercerita, “Setiap melihatmu, aku seperti melihat Ayahmu. Tapi sayang….”

“Ibu tidak pernah lagi mendengar suara ngaji mendiang Ayahmu di Musala. Ibu merindukan ayahmu … maafkan Ibu telah berlaku dingin padamu, Rid. Ibu tidak bermaksud begitu. Ibu sayang kamu. Ibu tidak ingin kamu cape. Ibu tidak ingin kamu seperti Ayahmu.” Lanjutnya.

            Mata Farid membulat dan menampilkan wajah ingin tahu.

            “Ibu telah membunuh ayahmu,” seketika Ibunya berkata begitu. Farid tercengang, dan menyalahkan perkataan Ibunya.

            “Tidak. Jangan katakan itu Bu. Jangan!”

            “Kejadiannya begitu cepat. Ayah mengantar Ibu berbelanja, tapi ketika berbalik untuk menyeberang. Sebuah truk tiba-tiba sudah berada di depannya. Ibu telah membunuh Ayahmu, Rid.” Hening dan hanya tangis Ibunya terdengar sesaat. Farid diam dan bingung.

            “Itu bukan salah Ibu. Ibu tidak salah!” Tiba-tiba Ibunya bangkit dan pergi ke luar.

            “Ibu telah membunuhnya, Rid,” ucapnya di depan pintu.

            “Tidak, Ibu. Tidak…!”          

***

            Sebelum Ramadan berakhir, Farid keluar kamar setelah salat subuh. Farid menuju Masjid dekat rumahnya. Di Masjid itu pula Ayahnya menuntunnya mengaji. Belajar iqra, Al-Quran, lalu beranjak Tartil. Farid mengingat masa-masa itu. Indah sekali. Bukan hanya Farid, tapi beberapa anak seusianya juga ikut. Farid meraih Al-Quran di dalam kotak lalu duduk di depan mimbar. Membuka halaman-halaman yang telah dilewati bersama Ayahnya.

Farid mengaji surah Al-Fatihah. Sangat merdu seperti dua tahun yang lalu ketika Ayahnya mengaji.

Ibunya yang tertidur lelah, terbangun mendengar suara Farid yang mirip dengan suaminya. Ibunya menitikkan air mata. Sebelah tangannya yang merah segera mengusap, dan menengadah.

Pincuk, 13-02-2020


Biografi Penulis


Fahrul Rozi lahir di Sampang. Belajar di Prodi Teknik Informatika Universitas Nahdhlatul Ulama Yogyakarta. Saat ini tinggal di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya tersiar di media cetak maupun daring.

IG: @Ojiy__ 


0 komentar: