Antologi Puisi
Oleh: Achmad Lubaidillah
Menjenguk Kampung
Kepulanganku pada kampung cuma sebentar. Menukar baju dari sekian bulan bergelantung di kamar kontrakan. Sebab ia sudah tidak bisa diajak mengaji lagi. Bertasbih bunga-bunga di ruang tamu. Selembar mematahkan penglihatan tanpa kerlip kunang-kunang. Malam dilumat sorot lampu. Menjadi bangkai serupa dua potong tulang rusukku di tempat berdandan.
Berdiri di belakang rumah sambil menelaah daun kelapa. Bertahun-tahun untuk sampai menua. Sebelum aku bisa bicara dan memiliki rencana. Di sini tempat aku juga tumbuh berbulu. Bulu yang jantan. Disematkan pada berat dan tinggi badanku yang tidak seberapa. Terkadang melayang-layang di perubahan kemarau. Beruntung keimanan tidak pandai berkencan.
Bekasi, 2020
Berjamaah pada Siang
Setinggi kaki wajahmu menyembul dengan mata rindu. Pada musim pelupa air matamu leleh seperti plastik di dalam api. Singgah dan bijaksana atas perintah hukum semut. Menghirup asap kasih parfum perpisahan. Diletakkanlah pada kolom-kolom kosong. Diberi nama beserta asal sekaligus keterangan mimpi remaja. Dalam seminggu sekali, kepalamu begitu-begitu saja. Tiga lembar uban lebih silau dari kebenaranmu yang mengaku perjaka. Keseharian dipaksa makan keringat. Dapur tanpa rempah-rempah. Lalu kamu mau ke mana?
Menyendiri di pinggir api untuk menunggu angin. Begitu sampai gigi berlumut. Perhatian diberikan berdasarkan lotre. Sementara untuk mendapat persetujuan harus menanam bunga dengan pot selebar kamar tidur. Supaya mimpimu makin aneh.
Ratusan juta serempak membuat pertanyaan dan menuliskan kisahnya masing-masing. Sebelum malaikat tahu persis tentang ajaran dan nasehat yang sedang dikerjakan. Pusat perhatian dikilokan untuk pesta bersama. Pesta pelarian dari cemburu dan kebencian. Dan engkau tidak bisa memberi jawaban apa-apa. Patuh merunduk kembang purnama.
Bekasi, 2020
Sementara di Tambun Selatan
Kesempatan untuk menyelesaikan pelajaran harus rela menyanggupi rindu. Setidaknya kita tidak terjebak dengan permintaan sementara. Masih ada sisa waktu untuk disepakati tanpa surat perjanjian. Sebab perkenalan yang kita pahat sudah melampaui curiga dan kenakalan.
Keberangkatanku pada Tambun Selatan agar lebih fasih kita bicara. Semeja bicara siang dan semeja bicara malam. Aku pergi tanpa seragam. Selembar tiket kereta Kertajaya. Di situ aku menyampaikan salam di stasiun Pasar Turi dan kembali menuang kabar selamat di stasiun Bekasi. Engkau tersenyum sembari memanjangkan mukena pada matahari pagi.
Dan kini impian makin melengking. Sejengkal dagu ke dada jarak menyelam diri. Mengingat sepetak tempat berlabuh. Melepas keringat cukup dengan kedip mata.
Di sini pula aku belajar bahwa masa depan harus dilalui dengan pengasingan. Harus rela menjelma tungku. Menabur asap kelabu. Meski ditertawakan dari kamar-kamar tidur. Seperti menyebut namaku dengan tidak berkelamin. Tapi aku mengerti bahwa ini cuma siksa sementara atau ujian yang lain.
Bekasi, 2020
Ingatan, dan Seikat Permohonan
Jangan periksa aku perihal ingatan. Setidaknya tentang jemari yang wajib sebagai penghitung rampung saat panggilan pertama. Aku bergegas menggulung sarung. Membaca puji-pujian lengkap dengan pewangi. Aku ingin mendapat pertolongan dari seribu sekian. Agar mengerti cara kembali. Melunaskan kebencian dari kemarin hari.
Menyampaikan deru di dada pada jam yang mustahil menolak. Bagaimanapun tangis-sesal jadi kado sepertiga malam. Sayup-sayup angin berhenti di ubun-ubun. Meringankan piutang bathin yang jarang dijamah. Pengucapan bentuk sanjung dipantulkan dari kening. Seperti terjawab apa yang kuingin.
Bekasi, 2020
Pergi Bekerja
Batas kegembiraan tersimpan di lembaran airmata. Kadang menetas jadi boneka. Wajahnya sesejuk pagi dan kuning matahari. Berfatwa di puncak bukit tentang angin, ladang, sungai yang tak berhenti mengalir ke pangkuanmu. Rebah menyampaikan berita dari bunyi burung dan engkau selalu bahagia.
Kiranya sudah berpuluh dongeng tamat dibacakan menjelang tidur. Kisah penjaga toko sembako sukses menjual mimpi. Memajang harga merah-biru di tepi keramaian. Seperempat usia tangkas menghitung kembalian.
Segala sesal dipangkas sebelum batu dan air menjelma rumah. Menyendiri di belakang doa. Meski berhari-hari menatap pahit, rute perjalanan harus diluruskan kepada kehendak. Biar pembeli semakin kemari.
Bekasi, 2020
Biografi Penulis
Achmad Lubaidillah: Kelahiran Sumenep, 1993. Lulusan Studi Seni Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya. Menulis puisi dan skrip pertunjukan. Pegiat Komunitas Tikar Merah. Email: lubetkarya@gmail.com
0 komentar: