JIHAD
SANTRI DAN PENGEMBANGAN MENTAL SPIRITUAL
Oleh:
Muslihah
Pendidikan
adalah salah satu faktor yang sangat menentukan dan berpengaruh terhadap
perubahan sosial. Melalui pendidikan,
diharapkan bisa menghasilkan penerus
yang mempunyai karakter kokoh,
penerima tongkat estafet kepemimpinan
bangsa. Namun, banyak pihak menilai bahwa karakter yang demikian ini justru
mulai sulit ditemukan
pada siswa-siswa sekolah. Banyak di antara mereka yang terlibat tawuran,
narkoba dan sebagainya. Keadaaan demikian menyentak kesadaran para pendidik dalam menegaskan kembali pendidikan karakter.
Salah
satu lembaga pendidikan Islam yang merupakan subkultur masyarakat Indonesia
adalah pesantren.
Pesantren salah satu institusi yang unik dengan ciri khas yang sangat kuat dan
lekat. Peran yang diambil adalah upaya-upaya pencerdasan bangsa yang secara turun temurun tanpa henti. Pesantrenlah yang
memberikan pendidikan pada masa-masa sulit, masa perjuangan melawan kolonial
dan pusat studi yang tetap survive sampai sekarang.
Tujuan pendidikan pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier,
bukanlah mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi. Tetapi
ditanamkan pada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan
pengabdian kepada Tuhan. Oleh karena itu, sebagai salah satu
lembaga pendidikan, pesantren juga mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil
dalam membentuk karakter para santri.
Secara
etimologis, Koentjaraningrat menyatakan bahwa kata budaya berasal dari kata budhayah,
bahasa Sanskerta, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang
berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat dikatakan “hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal”. Karena ia berkaitan dengan budi dan akal
manusia, maka bagiannya pun menjadi demikian luas.
Koentjaraningrat kemudian menyatakan bahwa kebudayaan paling sedikit mempunyai
tiga wujud, yaitu: 1) Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma
peraturan dan sebagainya. 2) Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas, kelakuan berpola dari manusia
dalam masyarakat. 3) Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Berdasarkan
pengertian tentang budaya yang demikian, maka setiap individu, komunitas, dan masyarakat melalui kreasinya pun bisa menciptakan kebudayaan tertentu ketika kreasi yang diciptakan
itu kemudian secara berulang, bahkan menjadi kesepakatan kolektif. Maka pada saat itu, kreasi telah menjelma menjadi sebuah
budaya. Lalu, salah
satu komunitas yang mampu membentuk budaya yang khas adalah pesantren.
Pesantren
adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda
dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di pesantren meliputi pendidikan
Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan, dan pendidikan lain yang sejenis.
Para peserta didik di
pesantren disebut santri yang umumnya menetap dan tempatnya dinamakan pondok.
Dalam
perkembangannya, pondok pesantren juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah
satu bentuk kelemahan berupa tingkat kedisiplinan. Berbagai upaya dilakukan
untuk mengoptimalkan peran serta fungsi pesantren, termasuk menciptakan
kebijakan tertentu yang dituangkan dalam bentuk aturan yang harus dilaksanakan
oleh para
santri. Diharapkan santri
dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan teratur dan mengikuti tata tertib yang berlaku.
Namun
pada kenyataannya masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh santri. Gunarsa
mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran kedisiplinan siswa antara lain
keterlambatan, bolos, perkelahian, dan menyontek. Maka fenomena-fenomena tersebut
menunjukkan masih rendahnya kedisiplinan di pondok pesantren. Perilaku tidak
disiplin di pondok pesantren banyak dilakukan oleh santri dalam fase remaja.
Menurut
Erickson kalangan remaja
termasuk dalam tahap perkembangan identitas dan kebingungan identitas (identity
versus identity confusion). Pada tahap ini remaja dihadapkan dengan banyak
peran baru dan status orang dewasa. Jika remaja menjajaki peran-perannya dengan
cara sehat dan tiba pada suatu jalan yang positif untuk diikuti, maka identitas
positiflah
yang dicapai.
Tata
tertib yang diterapkan di pondok pesantren meliputi peraturan terkait kegiatan
akademik maupun peraturan yang mengatur kegiatan harian santri, seperti
kewajiban datang tepat waktu ke sekolah, mengenakan seragam yang sesuai,
kewajiban berkomunikasi dalam bahasa Arab dan Inggris dalam kegiatan harian,
larangan membawa dan menggunakan barang elektronik, kewajiban melaksanakan
salat berjama’ah di Masjid,
larangan keluar asrama tanpa perizinan dan lain sebagainya.
Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di indonesia,
kiprahnya jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka. Ribuan pesantren yang tersebar luas di kawasan Nusantara ini
telah berhasil mengisi sebagian kekosongan pendidikan di Indonesia. Lembaga
pendidikan ini memiliki khazanah sejarah tersendiri karena sudah ada lama
sebelum lahirnya proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Lembaga pendidikan Islam ini begitu besar kontribusinya
terhadap anak bangsa sebagai bentuk keikutsertaan mereka dalam memajukan bangsa
khususnya dalam dunia pendidikan sehingga tidak diragukan lagi karena telah
banyak menghasilkan para tokoh formal atau non formal yang berkecimpung dalam
banyak aspek kehidupan kemasyarakatan atau birokrasi pemerintahan.
Eksistensi pesantren tidak diragukan lagi di masyarakat,
bahkan sampai sekarang peran itu terus ditingkatkan bukan saja mencerdaskan
anak bangsa, tetapi telah menyelenggarakan pendidikan formal mulai pendidikan
pra Sekolah sampai pendidikan tinggi. Sampai akhir abad 20, sistem pendidikan
pesantren terus mengalami perkembangan.
Pesantren
tidak lagi hanya mengajarkan
ilmu agama tetapi
juga mengajarkan
ilmu-ilmu umum. Selain itu juga muncul
pesantren-pesantren yang mengkhususkan ilmu-ilmu tertentu, seperti khusus untuk tahfidz
al-Qur'an, iptek, keterampilan atau kaderisasi gerakan-gerakan Islam. Perkembangan
model pendidikan di pesantren ini juga didukung dengan perkembangan
elemen-elemennya.
Jika pesantren awal cukup dengan Masjid dan asrama,
pesantren modern memiliki kelas-kelas, dan bahkan sarana dan prasarana yang
cukup canggih. Dengan tidak meninggalkan tradisi abad 21
ini, pesantren terus mengadakan pembaharuan-pembaharuan baik
di bidang kelembagaan
maupun manajemennya.
Menyadari bahwa bangsa adalah kumpulan dari manusia,
imaji, wilayah dan tata nilai (values) yang
beragama dan plural.
Sedangkan mental adalah
identitas sebuah bangsa.
Maka mental harus menjadi pondasi nilai pokok dalam
membangun peradaban suatu bangsa. Mental yang terlahir dari sucinya
pikiran (aql), bersihnya hati (qalb), dan beningnya
jiwa (nafs). Sebab
maju dan terbelakangnya suatu
bangsa ditentukan oleh nilai-nilai dan
mental penduduk-Nya. Mental yang
dimaksud dalam Islam
adalah akhlak. Untuk
menjadi seseorang berakhlak diperlukan
proses agar menjadi
manusia paripurna, proses itu pendidikan namanya.
Pendidikan
yang mampu mencetak
individu berakhlak mulia
(good character), saleh secara individu,
saleh sosial adalah melalui pesantren. Meskipun pendidikan modern telah masuk ke pesantren,
akan tetapi tidak
boleh menggeser tradisinya, yakni
gaya kepesantrenan. Sebaliknya, kehadiran lembaga pendidikan
formal ke dalam
pesantren dimaksudkan untuk memperkokoh tradisi
yang sudah ada, yaitu pendidikan
model pesantren.
Adaptasi adalah suatu bentuk keniscayaan
tanpa menghilangkan ciri
khas yang dimiliki
pesantren (al-Muhâfazhah `ala
al-Qadîm as-Shâlih wa al-Akhdzu
bi al-Jadîd al-Ashlah). Tradisi yang dimaksud untuk selalu dipertahankan
oleh pesantren adalah
pengajaran agama secara
utuh. Pendidikan pesantren sejak awal memang bukan dimaksudkan untuk
menyiapkan tenaga kerja terampil pada sektor-sektor modern sebagaimana diangankan
sekolah dan universitas
pada umumnya.
Melainkan
diorientasikan kepada para santri supaya dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran Islam secara
baik karena berusaha mengantarkan para
santri menjadi alim
dan saleh, bukan menjadi pegawai atau pejabat. Peran pesantren sangat urgen sekaligus merupakan tempat
kaderisasi Ulama,
pesantren sangat berperan untuk membentuk pribadi yang baik khususnya dalam hal
akhlak. Karena sudah kita saksikan sendiri banyak kenakalan remaja yang marak seperti yang sudah
disebutkan.
Jangan sampai generasi muda indonesia rusak karena dekadensi moral. Dengan konsep revolusi mental yang ada dipesantren itu semua akan menjadikan pribadi yang baik dan nantinya akan berdampak pada peradaban bangsa itu sendiri. Harus selalu diingat, bahwa pesantren harus tetap menjadi “rumah” dalam mengembangkan pertahanan mental spiritual sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan masa. Karena bangsa yang maju bukan hanya pendapatan perkapitanya tinggi akan tetapi bangsa yang maju adalah bangsa yang rakyatnya memiliki akhlak yang baik.
Muslihah lahir di Sampang, 30 Juli 2000. Kuliah di IAIN Madura,
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Sekarang tingga
di Desa Panyerangan, Kec. Pangerengan, Sampang. Email:
muslihah6373@gmail.com Instagram:
@muzlihachleonis
0 komentar: