PEREMPUAN ITU DI UJUNG DERMAGA Oleh: Moh Faiq           Setiap sore, selalu kudapati seorang gadis duduk di ujung dermaga sana. Kakinya di...

PEREMPUAN ITU DI UJUNG DERMAGA

 



PEREMPUAN ITU DI UJUNG DERMAGA
Oleh: Moh Faiq

        Setiap sore, selalu kudapati seorang gadis duduk di ujung dermaga sana. Kakinya diayun-ayunkan. Dan sesekali melempar genting ke tengah laut. Aku memperhatikannya, seperti penunggu dermaga saja.

      Gadis sendirian itu bukanlah hal baru bagi orang-orang, kecuali aku. Kata orang-orang, gadis di ujung dermaga itu adalah manusia biasa. Rumahnya tidak jauh dari pasar jagal. Akan tetapi, meskipun orang-orang menganggap itu adalah gadis biasa, setiap raut orang yang bercerita selalu  memancarkan pilu dan nestapa. Mereka seperti sedang bercerita masa lalu yang kelam. Dan tidak ingin terlalu lama membicarakannya. Aku melihatnya, dari pelipis mata dan kerutan dahinya.

     Karena jawaban orang-orang tentang gadis di ujung dermaga itu sama, maka cukup kuat rasa penasaranku tentangnya. Mungkin iya, aku harus percaya bahwa gadis itu adalah gadis biasa. Bukan jin apalagi malaikat. Malaikat macam apa yang ibadahnya melemparkan genting ke tengah laut. 

        Suatu sore, di saat senja tidak muncul, hanya awan-awan cokelat menggumpal. Langit akan segera hujan, dan petir sepertinya sudah siap menyambar. Gadis itu tetap menampakkan punggungnya. Dia tidak bergerak. Tidak pula bergeming. Sepertinya dia tidak peduli apa pun yang menimpa sekitarnya, termasuk menimpa dirinya sendiri. Dia seperti seseorang yang putus asa, yang pasrah terhadap apa pun, termasuk ancaman alam sekalipun. Apakah benar yang orang katakan bahwa gadis itu bukanlah jin? 

        Hujan pun turun, mengguyur laut dan tanah. Sangat deras. Orang-orang dari pasar kecil-pasar kecil di sekitar dermaga terus berlalu-lalang, berlindung, melindungi dagangannya, menutup kepalanya dengan payung, melangkahkan kakinya ke bawah atap dan menyelimuti tubuh dengan jas hujan. Itu adalah petanda, bahwa manusia masih berada di bawah kuasa alam. Tetapi tidak dengan gadis itu. Dia tetap duduk di ujung sana, dibiarkan rambut dan kulitnya kuyup. Dan dibiarkan alam bercumbu dengannya. Saat dia mendekapkan kedua tangannya kedinginan, aku seperti melihat seseorang tersesat kebingungan. Dia membutuhkan perhatian. 

      Aku sudah tidak bisa menyimpan tanda tanya itu semakin membesar. Mungkin dia adalah gadis yang tengah dirundung musibah. Kehilangan orang tua, korban KDRT, atau diputusin pacarnya. Apa pun itu.  Aku berencana menemui gadis itu besok. Sebelum senja tertutup rapat, aku telah menyiapkan kue untuk kuberi padanya. Ada kue yang kubeli, perpaduan karamel dan keju, sedikit ada hiasan bunga melati di pinggirnya. Dan juga, kupersiapkan beberapa genting. 

       Siapa tahu kami bisa mengobrol enak, sambil satu sama lain tahu, lemparan siapa yang paling jauh. Senyuman dan tawa siapa yang paling keras, dan bisa bertukar nama dan nomor telepon, bukan. Sepertinya cukup mengasyikkan juga menghabiskan waktu untuk satu lembaran genting. Tapi apakah iya, gadis itu berada di dermaga hanya karena gemar melempar genting? 

       Keesokan harinya, seperti yang kuduga, gadis itu masih ada. Dengan pakaian yang berbeda. Aku berjalan, sumringah, kedua tanganku memegang kue, dan saku kiriku penuh dengan genting-genting yang kupilih di belakang rumah. 

       Aku berjalan dengan langkah gontai. Rupanya, ujung dermaga itu lumayan jauh. Tiba-tiba, setelah aku tiba di pertengahan jalan, ada kabut setebal awan di depan mata. Membuat laut semakin samar. Hingga kabut yang tebal itu menghalangi seluruh pandangan. Sejak kapan kabut hinggap di tanah ini, di waktu sore, di waktu yang tidak seharusnya. 

        Dan aku tidak bisa melihat apa pun. Termasuk punggung gadis itu. Aku meraba-raba kabut tebal itu, seperti berusaha memindahkan sarang laba-laba yang berlipat-lipat. Aku merasa tidak memindahkan apa pun. Seperti memindahkan kekosongan. Pandanganku masih putih. Dan tubuhku seperti berada di atas awan. 

       Dengan terus-menerus, tanganku yang selalu ku ayun-ayunkan.Berusaha menyingkirkan penghalang ini. Tak tau sudah berapa kali tanganku bergerak seperti ketika berenang. Hingga akhirnya aku berhasil melenyapkannya. Pandanganku kembali normal. Tetapi, ke mana gadis itu? Punggung gadis itu telah tiada. Yang tersisa ada hanyalah tumpukkan genting yang berserak. 

Kantor Kabar Madura, 24 Januari 2020

Biografi Penulis

Moh Faiq bekerja menjadi jurnalis di Kabar Madura




0 komentar: