BAGAIMANA ISLAM MEMANDANG TOXIC RELATIONSHIP?
Oleh: Muallifa
Pernah merasa
tidak nyaman dengan sebuah pertemanan? Pernah merasa ingin menjauh dari teman
yang tidak sama dengan diri kita sendiri? Padahal pertemanan akan membuat kita
terlatih untuk belajar komunikasi, berinteraksi dengan orang baru. Selain itu membangun pertemanan tentu kita
akan memilih dengan orang yang sama seperti kita. Rasa nyaman membuat seseorang akan
berlama-lama dengan kita. Apalagi sevisi dan semisi. Juga
bisa diajak kerjasama dengan baik serta saling mendukung. Pertemanan semacam
ini adalah dambaan bagi semua orang.
Ucapan
melangkah bersama akan bergerak lebih maju nampaknya begitu sepadan dengan
berbagai persoalan hari ini. Sebab sesuatu yang dikerjakan bersama akan terasa
ringan, bahkan meskipun dikerjakan sendiri jika ada yang menemani, menjadi support
system akan terasa jauh lebih bermakna. Dalam ranah pertemanan, seseorang
akan merasa pekerjaannya lebih bermakna karena mendapatkan dukungan, kasih
sayang serta dorongan positif. Akan tetapi, tidak sedikit dari kita yang mengalami toxic
relation dalam pertemanan.
Millennial
pasti tidak asing dengan toxic relathionship. Sebutan yang seringkali
menjadi alasan menggema bagi sebagian kalangan yang entah dalam hubungan suami istri,
perihal pasangan, pertemanan,
bahkan dalam status rekan
kerja. Kalau kita lihat toxic relathionship itu berasal dari padanan bahasa
inggris, yang artinya hubungan beracun. Hubungan jenis ini memberikan dampak
negatif bagi kehidupan,
lingkungan, serta konstruksi
pemikiran kita dalam memangdang sesuatu.
Sebutan ini
biasanya diberikan kepada hubungan yang memberikan dampak negatif terhadap
orang lain. Bisa dalam artian ketika
memberikan label kepada teman yang mengajak hal negatif, selalu menolak keberhasilan
kita, cemburu saat melihat keberhasilan kita, dan berbagai bentuk yang tidak
memberikan kedamaian diri ketika memilih hubungan yang toxic.
Dampak toxic
relathionship dalam pertemanan ini sangat besar. Kalau kita lihat
perspektif diri kita sendiri. Kita akan mengalami gangguan kesehatan mental.
Dihadapkan dengan berbagai persoalan, berjuang untuk mendapatkan sesuatu lalu
tiba-tiba temanmu bukan malah mendukung justru mematahkan semangat. Kamu akan
merasa rapuh, tidak semangat dan tidak bisa bangkit dari keterpurukan.
Tanpa kita
sadari, terkadang orang dekatlah yang menjadi musuh besar kita, sebab jika
bukanlah sebuah kebaikan yang diberikan satu sama lain, bukan kebaikan pula
yang didapatkan, khususnya dalam pertemanan. Teman yang toxic memberikan dampak negatif
kepada diri kita. Biasanya pertemanan macam ini tidak pernah mengapresiasi
hal-hal baik meskipun kecil dalam hidupmu, egois demi kepentingan dirinya
sendiri. Padahal hubungan yang baik itu tejalin dua arah. Antar yang satu
melengkapi dengan yang lain, saling membantu dan saling menjaga sesama.
Dalam memilih
teman, Alghazali menganjurkan tentang pentingnya untuk tidak salah memilih
teman apalagi bagi yang sedang menuntut ilmu. Apabila kita terjebak di
lingkungan yang toxic, kita tidak akan berkembang dan mengembangkan
kemampuan diri serta soft skill yang dimiliki.
“Berteman dengan
penjual parfum, kita akan kecipratan wanginya. Begitupula jika berteman dengan penjual
ikan asin, akan kecipratan baunya,”
kalimat sederhana ini masih menjadi landasan untuk pandai-pandai memilih teman
dan bergaul. Orang yang akan kita jadikan teman biasanya akan menjadi bagian
dari hidup kita, mengetahui berbagai keseharian yang kita lakukan, termasuk hal
privasi. Dalam artian, mimpi, rencana masa depan, keinginan serta tujuan-tujuan
kecil yang akan dilakukan.
Teman yang
baik, akan membawa kita dalam kebaikan. Hal ini sesuai dengan HR. Dawud no.
5682 dan at-Tirmidzi no. 1163 bahwa “mukmin yang paling sempurna imannya adalah
mukmin yang paling baik akhlaknya,”
kata baik tentunya setiap
orang memiliki perspektif masing-masing dalam menilai.
Berteman
dengan orang pandai juga menjadi anjuran Al-Ghazali dalam memilih teman. Sebab
dengan berteman dengan orang pintar, kita akan terpengaruh pandai. Sebab
kebiasaan yang dimiliki seseorang yang pandai tentunya berbeda. Kata
Al-Ghazali, tidak ada manfaatnya berteman dengan orang bodoh. Pandai dan bodoh
juga relatif.
Perspektif
masing-masing orang sangatlah berbeda. Meskipun demikian, ketika seseorang
pandai dalam ilmu agama, ia akan senantiasa menuntun dalam kebaikan, memberikan
nasehat baik untuk kebaikan temannya di masa yang akan datang. Saling
memberikan semangat dalam melakukan kebaikan, serta mencegah sesuatu yang tidak
baik untuk temannya menjadi atensi dari teman yang baik.
Adapun
kewajiban seseorang dalam berteman menurut Syekh Nawawi yaitu membantu teman
yang sedang mengalami kesusahan, tidak meninggalkan ketika sedang susah baik
dengan bantuan otot, harta, ataupun pikiran. Kewajiban lainnya dalam berteman
yaitu tidak membuka aib teman yang lain, menjaga rahasia adalah kewajiban dalam
berteman.
Teman yang toxic
akan melakukan sesuatu yang tidak saling mendukung satu sama lain. Ketika ada
konflik salah satunya akan berusaha merusak yang lain, di mana ada persaingan, rasa tidak hormat dan kurangnya kerjasama. Padahal
kewajiban seorang teman saling memberikan energi positif untuk teman lainnya.
Tidak saling menghakimi satu sama lain.
Sebuah
hubungan pasti mengalami pasang surut, tidak terkecuali juga dengan pertemanan.
Tidak selamanya berteman akan merasakan baik-baik saja. Akan tetapi, komitmen
untuk saling menjaga kepercayaan satu sama lain dalam keadaan suka ataupun duka
serta mendukung penuh terhadap kebaikan merupakan hal utama untuk dilakukan
dalam sebuah pertemanan.
Carilah teman yang bisa menghargai perbedaan, kekurangan yang kamu miliki, menyimpan segala aib dan menjadi satu alasan dari banyak alasan untuk berbuat baik, melakukan kebaikan serta memberikan dampak bagi sekitar dengan hal-hal positif.
0 komentar: